Sabtu, 02 Oktober 2010

RENUNGAN DARI SYEKH MUHAMMAD NASIRUDIN AL BANI MENGENAI IMAM 4 MAHDZAB

Berikut perkataan-perkataan mereka yang dicatat oleh Al Imam Al Faqih Nashiruddin Al Albani rohimahullooh dalam pendahuluan kitab Sifatu sholatin nabiyy. Jika membutuhkan ebook dari kitab tersebut, bisa menghubungi kami dengan menuliskan di kolom komentar. Semoga bermanfaat.
1. Abu Hanifah
Yang pertama adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Telah diriwayatkan darinya pendapat-pendapat dan ungkapan-ungkapan beragam yang semuanya bermuara pada satu makna. Yaitu kewajiban mengambil hadits sebagai dalil dan meninggalakan pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya. Beliau berkata,
  1. Bila suatu hadits itu benar maka itulah mazhabku.
  2. Tidak halal bagi setiap orang untuk mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan ”Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku berfatwa dengan pendapatku”. Dalam riwayat lain ditambahkan ”Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengemukakan pendapat hari ini dan (boleh jadi) berubah pendapat pada keesokan harinya”. Disebutkan juga dalam riwayat lain ”Apa-apaan engkau wahai Ya’kub (Abu Yusuf)!, jangan engkau tulis semua yang engkau dengar dariku. Karena aku mengemukakan pendapat hari ini dan keesokan harinya mungkin aku meninggalkannya. Besok aku berpendapat sesuatu dan lusanya aku tinggalkan”
  3. Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Alloh dan khabar dari Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian meninggalkan pendapatku.
2. Malik bin Anas
Beliau berkata,
  1. Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah maka ambillah. Setiap yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka tinggalkanlah.
  2. Setiap perkataan orang boleh dipakai atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shollalloohu ‘alaihi wa sallam.
  3. Ibnu Wahab berkata, ”Aku mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki dalam wudlu. Ia berkata ’Hal itu tidak wajib’. Lalu saya meninggalkannya sampai orang-orang yang mengelilinginya sedikit. Saya katakan kepadanya, ’Hal ini menurut kami sunnah’ Malik bertanya  ’Apa haditsnya?’ Saya menjawab, ’Dikatakan Laits bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah dan Amru bin Harits, dari Yazid bin Amru al-Ma’afiri, dari Abu Abdurrahmanal-Habli, dari al-Mustaurid bin Syadad al-Qurasyi, ia berkata ’Aku melihat Rasulullah SAW menggosokkan jari-jari manisnya pada cela-cela jari kedua kakinya’ Lalu Malik menyela ’Hadits ini hasan, aku tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang ini.’ Kemudian di lain waktu ia ditanya dengan masalah yang sama dan ia menyuruh agar menyela-nyela jari-jari kedua kakinya.”
3. Imam Syafi’i
Perkataan-perkataan dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dibandingkan dengan 2 imam yang telah disebutkan di atas. Di antara ucapan beliau adalah sebagai berikut:
  1. Tidak ada seorangpun yang bermazhab melainkan  (harus dengan)  mazhab Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam. Apapun pendapat yang aku kemukakan atau yang aku sebutkan, sedangkan terdapat hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka yang benar adalah sabda Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam. Dan itulah pendapatku.
  2. Kaum muslimin telah sepakat bahwa orang yang telah mengetahui sebuah hadits dari Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil pendapat seseorang.
  3. Jika kalian mendapati dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam, ambillah sunnah Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam sebuah riwayat dikatakan ’Maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti pendapat siapapun’
  4. Bila sebuah hadits dinyatakan sahih, maka itulah mazhabku.
  5. Kalian lebih mengetahui hadits dan rawi-rawinya daripada aku. Bila suatu hadits dinyatakan sahih maka beritahukanlah kepadaku darimanapun asalnya, dari Kufah, Basrah atau Syam. Bila benar sahih, aku akan menjadikannya madzabku.
  6. Setiap masalah yang ada haditsnya dari Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam menurut ahli hadits yang bertentangan dengan pendapatku, niscaya aku cabut pendapatku baik selama aku masih hidup atau setelah matiku.
  7. Bila kalian melihatku mengemukakan suatu pendapat, dan ternyata ada hadits sahih yang bertentangan dengan pendapatku maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak pernah ada.
  8. Semua yang aku ucapkan sedangkan ada hadits Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam yang sahih bertentangan dengan pendapatku, maka seharusnya diutamakan hadits Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam, janganlah bertaklid kepadaku.
  9. Setiap hadits yang sahih dari Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam adalah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku.
4. Ahmad bin Hambal
Imam Hambali adalah salah seorang imam yang terbanyak mengumpulkan hadits dan yang paling teguh memegangnya. Beliau berkata sebagai berikut,
  1. Janganlah bertaklid kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i dan tidak pula Ats Tsauri, ambillah dari mana mereka mengambil. Dalam sebuah riwayat  dikatakan, “Janganlah bertaklid dalam masalah agama kepada para imam, ikutilah apa yang mereka dapat dari Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sedangkan apa yang berasal dari tabi’in, maka boleh memilihnya (menolak atau menerima).
  2. Al-Auza’i berpendapat, Malik berpendapat, dan Abu Hanifah berpendapat. Menurutku semuanya adalah ra’yu (buah pikiran semata), sedangkan yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah-masalah agama adalah atsar (hadits).
  3. Barangsiapa menolak hadits Rasulullah SAW maka ia berada di tepi kehancuran.
Catatan:
Dari riwayat-riwayat tersebut, kita dapat melihat bahwa setiap imam empat madzab menganjurkan untuk senantiasa berpegang teguh pada hadits, dan melarang untuk bertaklid terhadap pendapat mereka tanpa ilmu. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau menelaah. Oleh karena itu, barangsiapa berpegang teguh terhadap hadits, meskipun bertentangan dengan pendapat para imam, tidak berarti menyalahi pendapat mazhab yang dianut dan juga tidak berarti telah keluar mazhab yang ditempuhnya. Bahkan, dengan melakukan hal tersebut, dia telah mengikuti jalan dan pendapat para imam madzab yang sebenarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang meninggalkan sunnah yang shahih hanya karena berbeda dengan pendapat para imam madzab, konskuensinya dia telah menyelisihi dan menentang para imam madzab tersebut. Alloh berfirman, ”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dangan sepenuhnya” [An-Nisaa’ ayat 65]. Dalam ayat yang lain, ”Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nur ayat 63].

Tidak ada komentar: